Rabu, 30 Desember 2009

“EJAKULASI DINI” SERTIFIKASI GURU (*)

Oleh Ashari Thamrin M, SS
Guru SMAN 1 Bupon

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2009 telah berakhir. Sekitar 2000-an guru lagi untuk Propinsi Sul-sel akan menerima Sertifikat Profesional beserta tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sebuah pertanyaan besar membuntuti: Benarkah para guru yang telah menyetor Portofolio dan mengikuti PLPG itu telah professional?
Terlalu dini mengatakan “YA”. Sedikit banyak, ada beberapa fenomena klasik yang tak terhindarkan saat penentuan seorang guru menjadi profesional atau tidak professional, baik melalui Portofolio maupun PLPG. Dalam proses penyusunan portofolio, manipulasi data tidak terindarkan. Sementara dalam diklat Profesi Guru, faktor welas asih (belas kasihan), nepotisme, dan target penuntasan sejumlah guru yang harus disertifikasi hingga batas tahun tertentu, pun tak dapat dihindari.
Dalam PLPG, sesungguhnya indikator-indikator penilaian untuk mengidentifikasi seorang guru profesional atau tidak, telah cukup. Sayangnya, keterbatasan waktu pelaksanaan PLPG membuat grogi semua pihak, baik panitia, assessor, apalagi peserta PLPG. Bagaimana tidak, Pre-Test dan Presensi atas materi-materi PLPG, seperti materi Jurusan, Pengembangan Profesionalisme Guru, Model-Model Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas serta penugasan-penugasan untuk ke 4 (empat) jenis materi itu hanya digelar 8 (delapan) hari. Begitu pun penilaian teman sejawat, peer teaching (Praktek mengajar) dan terakhir Post Test (Ujian Akhir) untuk ke 4 (empat) jenis materi di atas, dirangkum dalam durasi 8 (delapan) hari tersebut.
Keterbatasan waktu ditambah ketidakbiasaan yang menimbulkan kekurang-nyamanan bagi semua pihak yang terjadi dalam waktu 8 (delapan) hari itulah yang memunculkan fenomena-fenomena kelulusan klasik dalam PLPG. Peer teaching, misalnya, dalam perspektif peserta didik, -dan juga sebagian asesor penilai-, tidaklah dapat dijadikan acuan bahwa seorang guru mampu mengajar atau tidak. Ini karena keterbatasan waktu yang hanya tersedia 30 menit per peserta, serta ketidaklaziman yang menimbulkan kekurangnyamanan berdiri di hadapan teman sejawat yang harus dianggap sebagai peserta didik (murid/siswa).
Bagi guru-guru yang memang bermodalkan tabiat professional, keterbatasan waktu tidak akan pernah mengusik kenyamanan mereka dalam berpraktek. Sebaliknya, guru-guru yang tidak memiliki tabiat professionalisme, kondisi tersebut justru dijadikan momentum untuk mendramatisir permasalahan agar menjadi gamang dan remang-remang. Buntutnya, hasil penilaian pun terjebak pada fenomena-fenomena kelulusan klasik, seperti yang diuraikan di atas.
Satu kesan yang dapat ditarik dari pelaksanaan sertifikasi guru selama ini adalah pelaksanaannya begitu terburu-buru, sehingga mirip dengan orang yang ejakulasi dini dalam senggama.

PENJENJANGAN
Jadi bagaimana seharusnya sertifikasi guru diselenggarakan, agar “Negara” benar-benar menemukan sosok guru professional?
Dalam kurun waktu 2006 hingga 2009, untuk menjadi seorang guru professional, guru telah dituntut menjadi sosok yang sempurna yang tidak boleh tidak, harus memiliki 4 jenis kompetensi yang dijabarkan dalam 10 poin pokok penilaian portofolio. Akibatnya, banyak kalangan guru melakukan manipulasi data dan fakta atas rekam jejak pengabdian mereka, padahal belum tentu mereka telah lakukan.
Guru juga manusia. Dan tak ada manusia yang sempurna. Upaya mendorong guru untuk mendekati tingkat kesempurnaan melalui sertifikasi guru adalah upaya rasional. Namun justru menjadi tidak rasional manakala dilakukan dengan cara tukang sulap: “Sim salabim, Abra kadabra”.
Karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang setiap penyelenggaraan sertifikasi, dan agar identifikasi professionalisme guru tetap berada dalam koridor professional, maka sebaiknya dilakukan pula langkah-langkah professional.
Pertama, seleksi melalui portofolio tetap dipertahankan sebagai seleksi tahap awal, dengan tambahan 1 (satu) syarat: masing-masing peserta melengkapi portofolionya dengan 3 buah rekaman video aktivitas mengajar/melatih/membimbing yang masing-masing berdurasi 2 jam Mata Pelajaran.
Kedua, professionalisme guru sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Mungkin sampai 3 (tiga) hingga 4 (empat) jenjang atau tingkatan, sehingga nantinya akan ada Professional tingkat I, Professional Tingkat II, Professional tingkat III, dan Professionalisme tingkat IV. Professional tingkat I dapat meliputi kompetensi Akademik (Kepribadian) dan Paedagogik. Professional Tingkat II ditambah lagi satu kompetensi, misalnya kompetensi Sosial. Professional tingkat III benar-benar telah memiliki 4 macam kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yakni Akademik, Paedagogik, Sosial dan Professional.
Tunjangan sertifikasi pun baiknya disesuaikan dengan tingkat professionalisme seorang guru. Professional tingkat pertama diberi setengah, atau 0,5 kali gaji pokok. Professional tingkat II diberi 1 kali gaji pokok, professional tingkat III diberi 2 kali gaji pokok, dan professional tingkat IV diberi 3 kali gaji pokok
Kendati tafsir Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) oleh beberapa ahli menggariskan bahwa ke 4 (empat) jenis kompetensi yang harus dimiliki setiap guru itu utuh dan tidak berlaku partial, namun jika kembali pada perspektif di atas bahwa guru juga manusia dan tak ada manusia yang sempurna, maka kesempurnaan seorang guru adalah suatu kemustahilan. Namun upaya untuk melahirkan dan/atau membentuk guru-guru professional yang mendekati kesempurnaan sesuai yang digariskan UUGD, adalah suatu keniscayaan manakala dilakukakan secara berjenjang, dan tidak dengan cara tukang sulap.

BASIS KINERJA
Sebenarnya, ada cara pintas (shortcut) untuk mengidentifikasi professionalisme seorang guru, yakni dengan penilaian berbasis kinerja. Seorang guru yang mengajar 100 orang peserta didik, dapat dikategorikan professional jika mampu meluluskan 51 orang peserta didiknya dalam Ujian Nasional. Istilah kerennya 50 plus 1. (Opini Tribun: Selasa, 19-02-2008, Sertifikasi Guru yang Rancu). Hanya saja, cara ini akan terasa sangat berat oleh semua pihak, baik pemerintah, Panitia sertifikasi, apalagi peserta sertifikasi.
Namun, untuk mengidentifikasi guru Professional tingkat III, atau juga untuk keperluan penjenjangan Professionalisme guru tingkat IV, cara pintas ini boleh-boleh saja diterapkan. Asal, pengawasan dalam UN untuk peserta didik si guru yang menjadi peserta sertifikasi, benar benar dilakukan ekstra ketat tanpa tekanan psikologi.

REKRUITMEN
Satu hal lagi yang paling krusial yang selama ini terabaikan, padahal seharusnya menjadi bab pendahuluan dalam melahirkan dan mengidentifikasi guru professional, yakni rekruitmen tenaga guru. Rekrutmen tenaga guru melalui jalur database sungguh banyak melanggar azas professionalisme. Sarjana Sastra mengajar Akuntansi, Sarjana Pertanian mengajar Fisika, dan sebagainya. Di mana relevansinya? Bagusnya, rekrutmen melalui jalur database ini diwacanakan akan ditamatkan di tahun 2009. Jadi yang lalu biarlah berlalu.
Satu jalur lagi, yakni melalui jalur umum, patut ditinjau ulang. Kenapa? Masih banyak daerah di Indonesia melakukan sistem perekrutan dengan mengandalkan kemampuan menjawab 100 buah soal Tes Kompetensi Dasar/Umum (TKD/U). Padahal muatan soal-soal TKD/U tidak layak dijadikan satu-satunya tolok ukur atas kemampuan seorang guru. Sarjana Sastra yang tak pernah lagi mengeyam Mata Kuliah Matematika masih juga diberi tes matematika. Mana bisa menjawab?
Saya berani mengatakan bahwa kalau Tes TKD/U dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk rekrutmen tanaga guru, maka lulusan SMA/SMK yang otaknya masih segar menjawab soal-soal sejenis itu, lebih layak menjadi guru ketimbang sarjana. Para lulusan SMA/SMK bila dilatih secara intensif menjawab soal-soal TKD/U, mereka mampu meraih skor 100%.
Jadi bagaimana sebaiknya sistem rekrutmen guru professional? Pertama, Jalur database boleh dibuka kembali, tapi diprioritaskan untuk guru-guru honor (GTT) yang telah lulus Penjenjangan Professional tingkat Pertama sesuai syarat diatas, yakni menyusun Portofolio (lengkap dengan 3 buah rekaman aktivitas) dan lulus dalam PLPG. Kedua, melalui jalur umum dengan tambahan tes wawancara, Tes Kompetensi Bidang (TKB) dan Praktek mengajar.
Bila cara-cara pengidentifikasian guru-guru professional, -mulai dari perekrutan dan penjenjangan-, dilakukan sesuai tawaran di atas, insya Allah, Negara tidak akan mubazzir mengeluarkan APBN trilyunan Rupiah setiap tahunnya untuk membiayai sektor pendidikan. Sebaliknya, jika masih dilakukan dengan cara-cara klasik seperti yang dulu-dulu, niscaya sektor pendidikan kita akan tetap jalan di tempat, bahkan mungkin mengalami langkah mundur. Ingatlah, hanya satu pihak yang merasa puas dalam ejakulasi dini. Siapa itu? Anda sudah tahu jawabannya!

(*) Naskah asli tanpa editing koran (opini ini dimuat d tribun timur 29 Des 2009