Senin, 07 Juni 2010

KITAB LAGALIGO BUKAN KARYA SASTRA BUGIS

Oleh: Ashari Thamrin M, SS

Kritik pedas yang dilontarkan Penulis buku “Gurita Cikeas” George Aditjondro dalam makalahnya berjudul: Terlalu Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras, patut dipertimbangkan oleh orang-orang Luwu (Bija To Luwu). Selama ini, Orang Luwu selalu berada dalam bayang-bayang suku bugis. Sebagian besar Bija To Luwu telah latah mengakui bahwa mereka adalah suku bugis, padahal dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa TAE sebagai ciri khas kesukuan orang Luwu. Berikut 2 (dua) kutipan dari makalah tersebut yang patut direnungkan:
1. Dan pengamatan di Tana Luwu’ dan wawancara dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang Luwu’ atau To Luwu’, penduduk asli ketiga kabupaten ex-kerajaan Luwu’ (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri, dan bukan sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae’, lebih dekat ke bahasa Toraja dari pada ke bahasa Bugis.
2. Klaim Bugis atas Luwu’, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La Galigo sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa La Galigo menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.
Ternyata, George Aditjondro bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Hampir seperempat abad silam, Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas, telah mengungkap hal tersebut dalam beberapa tulisannya, yang kembali dikutip George Aditjondro dalam makalah tersebut di atas.

BANYAK BUKTI
Saya sendiri justru penasaran dengan Kitab Lagaligo yang diklaim sebagai Karya Sastra Bugis. Saya mengembangkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Kitab Lagaligo itu dikatakan karya sastra Bugis, sementara pemerannya adalah Raja-raja Luwu, penutur rumpun bahasa TAE’? Saya pun berinisiatif mencari tahu melalui search google.
Jawaban pertama saya temukan dari pernyataan Muh. Salim -salah seorang penerjemah Sureq Lagaligo- bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Makanya, Muh. Salim butuh 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 36 Bab itu.
Dari pernyataan Salim ini, kita dapat mengembangkan logika: kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu dia hanya butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut.
Tapi, Saya tetap menggaris bawahi phrasa “Proto Bugis+Sansekerta” yang dikatakan oleh Muh. Salim. Saya coba telusuri melalui Genesis bahasa Austronesia. Masya Allah….., saya baru tahu kalau bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Dan bahasa Makassar adalah turunan campur (Indo) dari bahasa TAE’ (Luwu) dan Bahasa BARE’E (Sulawesi tengah). Sungguh mengejutkan!
Lalu apa alasan Muh. Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti”? Hanya Allah dan dia saja yang tahu.
Saya belum puas sampai disitu. Saya berpikir bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain dan dari tempat asli di mana para pemeran dan episodenya berlangsung, yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan, mengingat keterbatasan saya dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan.
Tapi entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik diteliga saya untuk mencari keterangan dari para pemerhati Lagaligo di Luar Negeri. Dalam benak saya, mereka (orang luar itu) tentu pernah menulis hal-hal terkait kitab tersebut, dan mereka tentu akan lebih objektif, semata hanya untuk pengembangan keilmuan, dan tidak ada tendensi dan pengaruh subjektifitas kesukuan. Toh mereka bukan orang Sulsel.
Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan tambahan dari V. SIRK melalui tulisannya berjudul : On Old Buginese and Basa Bissu hal 235. Berikut kutipannya:
1. To determine the origin of the lexical layers formed basically by the words that Matthes marks with O.B. and with B.B. is a complicated problem. Here I am able to give some suggestion only regarding the first, "Old Buginese" layer. This layer has apparently been brought about by the "Lagaligo" tradition. As regards the original homeland of this tradition, there are various consideratios putting forward Luwu' region. However, such a hypothesis cannot as yet be founded linguistically : much more data about Buginese dialects and neighbouring languages are needed to prove it. Nevertheless, already at present it seems that there are isoglosses linking the "Old Buginese" layer with the languages of Central and Eastern Sulawesi. The following parallels are interesting : O.B. eyo 'day' — eo id. in a number of languages of Central Sulawesi (a specific development of the etymological rool * (q)ajaw); O.B. rananrir) 'wind' — ranindi 'cold' in Toraja languages ; O.B. tapide 'shield' — Bare'e (Pu'umboto dialect) tampide, Banggai tompide id. ; O.B. kunawe 'buffalo' — Bare'e (priests' language)
(Artinya: Untuk menentukan keaslian dari lexical yang melapisi pembentuk dasar kata-kata yang ditandai Matthes dengan O.B. dan B.B., adalah sebuah masalah yang complete. Disini, saya dapat memberi saran hanya mengenai “Bahasa Bugis Kuno” dulu. Adapun mengenai tanah air asli dari tradisi ini, ada begitu banyak pertimbangan di sepanjang wilayah Luwu. Namun demikian, sebagaimana halnya hipotesis-hipotesis yang belum dapat ditemukan secara linguistic: terlalu banyak data tentang dialek-dialek bahasa Bugis dan bahasa tetangga(nya) yang harus disediakan. Kendati demikian, kelihatannya telah ada batas pemisah yang jelas pada lapisan “Bahasa Bugis Kuno” dengan bahasa-bahasa di Sulawesi tengah dan Sulawesi bagian Timur).
2. Besides, it should not be forgotten that the origin of the linguistic standard of Buginese prose antedates Matthes's scarce notes about Buginese dialects
(Artinya: Disamping itu, jangan lupa bahwa standar linguistic asli dari prosa Bugis, lebih dulu ada daripada catatan langka Matthes tentang Dialek-dialek Bugis).

MENGAKHIRI KELATAHAN
Kutipan V. Sirk di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa orang luar pun sudah tahu di mana tempat asli dari Kitab Lagaligo itu dilahirkan, berikut bahasa yang digunakan dalam Kitab Lagaligo tersebut. Jelas bukan bahasa Bugis, tapi bahasa Luwu alias bahasa TAE’ yang belum diketahui dialek apa. Jadi, tunggu apalagi? Saya sendiri tetap berkomitmen untuk mengumpulkan data demi data untuk pembuktian tersebut. Dan insya Allah komitmen saya tidak akan padam, walaupun ada diantara kita sekalian (Bija To Luwu) bertanya-tanya: Apa perlunya?
Membuat Identitas sebagai Suku tersendiri akan menguntungkan orang Luwu ke depan, khususnya dalam bidang Pariwisata. Saat ini dunia sedang melek mata akan keagungan Sureq Lagaligo yang lebih panjang dari pada Kisah Mahabharata dan Ramayana dari India. Mereka sedang mencari-cari dari manakah asal muasal Kitab yang hebat itu. Tidak menutup kemungkinan, akan ada sutradara Hollywood yang tertarik menggarap kisah Sawerigading yang memiliki karakter yang lebih unik daripada Hercules, atau tokoh-tokoh Mythos lainnya di dunia. Jelas, itu hanya sebuah tips dan bukan tujuan utama jika kita memiliki identitas tersendiri.
Tapi, jika Luwu tetap mendompleng dalam bayangan identitas suku bugis, maka justru orang-orang Bugislah -yang secara geografis berada di wilayah BOSOWA- yang akan mengeruk keuntungan tersebut. Terbukti, pernah dilakukan ekspedisi arkeologi OXYS, di Sulsel untuk menelusuri perjalanan Kitab Lagaligo. Sayangnya, mereka tidak menemukan apa-apa, karena diarahkan ke Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir, tak lupa peran penting 4 pemerintahan di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur. 2 (dua) hal mendesak yang sebaiknya segera dilakukan untuk penyelamatan identitas kesukuan ini, yaitu:
1. Mengirim putra dan putri Luwu ke perpustakaan Leiden Belanda yang punya kapasitas keilmuan untuk melakukan translasi, transliterasi dan dokumentasi Sureq Lagaligo.
2. Mengembalikan Luwu dalam kondisi originality (keasliannya), minimal dalam berbahasa.
Sungguh pilu hati ini melihat begitu latah dan bangganya orang Luwu di Kota Palopo disebut sebagai orang bugis, sehingga slogan berbahasa bugis pun tertera di mana-mana. Wanua mappatuwo naewai alena, Toddopuli temmalara (ini sejak tahun 1946?), SaodenraE, SaokataE, dan lain lain. Nawawi S. Kilat dari Kec. Wotu Kab. Luwu Timur, bahkan sudah lebih dulu teriak agar nama Sungai Cerekang dikembalikan ke nama semula sesuai bahasa setempat menjadi Sungai Cerrea.
Semoga kelatahan ini segera diakhiri, dan kita menuju ke kondisi keaslian identitas kita sebagai Bija To Luwu. Selebihnya……, W Allahu a’lam bisshawab. Wa Shadaq Allahu l’adzim.

Sabtu, 03 April 2010

SBY Akan Seriusi Bahasa Arab

Amman - Keseriusan Presiden SBY mengetuk pintu kawasan Timur Tengah tidak
main-main. Bahkan SBY pun berniat belajar bahasa Arab. Dalam sebuah
kesempatan di Abu Dhabi, SBY pun menyempatkan membeli kaset pelajaran bahasa
Arab.

"Saya akan usahakan belajar bahasa Arab dalam 3 tahun," kata SBY.
"Syukur-syukur bisa lebih cepat lagi," kata SBY dalam jumpa pers di Hotel
Emirates, Abu Dhabi, Selasa (2/6/2006) sebelum bertolak menuju Amman,
Yordania.

Jumpa pers yang diikuti wartawan detikcom Budiono Darsono berlangsung dalam
suasana yang santai dan menyegarkan. "Saya akan berusaha belajar bahasa Arab
dalam 3 tahun. Bukan tidak 3 bulan lho ya," kata SBY dengan senyum
mengambang.

Ketika berada di Doha, Qatar, sesaat menjelang bertemu dengan Ketua ulama
Uni Eropa Prof Yusuf Khardawi di Hotel Sheraton SBY sempat meminta Alwi
Shihab untuk membantunya belajar bahasa Arab. Sepintas Alwi nampak kaget
dengan keinginan SBY. Namun toh Alwi pun menganggukan kepala, mengiyakan
dengan tersenyum.

Mengapa SBY ngotot belajar bahasa Arab? "Bahasa itu alat komunikasi. Kalau
kemampuan saya berbahasa Arab bagus, saya akan bisa melakukan komunikasi
yang intens dengan para pemimpin Arab," kata SBY. "Insya Allah saya bisa
fasih," imbuh SBY.

SBY pun kemudian juga menyarankan agar warga Indonesia, di samping terus
memperbaiki penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga mendalami
bahasa Inggris dan Arab. "Kalau melihat peluang pasar, kedua bahasa itu akan
sangat mendukung," kata SBY.

Di Timur Tengah, tenaga kerja Indonesia sudah mencapai 2 juta orang. Dalam
10-15 tahun ke depan, permintaan tenaga kerja Indonsia ke Timur Tengah akan
berkemebang. "Katakanlah angka itu naik menjadi 4-5 juta tenaga kerja
Indonesia yang akan masuk ke Timur Tengah," kata SBY.

Jelas itu merupakan peluang besar. Tenaga Kerja Indonesia bisa mengisi
posisi menjadi guru, perawat, tenaga profesional di bidang perminyakan, dan
lain lain. "Kalau tenaga kerja kita dibekali kemampuan bahasa Inggris dan
Arab, maka kita akan memiliki daya saing yang kuat," tandas SBY.

"Jadi saya anjurkan untuk belajar bahasa Inggris dan bahasa Arab. Kedua
bahasa itu sudah menjadi bahasa internasional. Belajar kedua bahasa itu
sekaligus merupakan orientasi pasar," kata SBY. Meski begitu SBY tetap
menilai baik untuk yang berkeinginan belajar bahasa asing di luar bahasa
Inggris dan Arab.()

Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/surau/message/28593

Minggu, 28 Februari 2010

Pantun 67 Keranjang

Karya : Ashari Thamrin M, SS

Dagang kacang sisa belalang
Pernah ditanam di rumah belakang
Ini kisah Sang Petualang
Banting tulang jaga peluang

Jual tampang dan semangat juang
samarkan hati yang belang-belang
biar lapang tahta berulang
sumbang uang 67 keranjang

Rampok uang dibilang hilang
Kata dia diterjang gelombang
Padahal perahu tiada goncang
Menangislah si banyak orang

Alang-alang di padang ilalalang
Sang petualang diterpa bimbang
takut kedok muncul telentang
pura-pura bermain layang

Segala cara pertahankan wewenang
Saudara sendiri diancam pedang
Sembari menabuh genderang perang
Nambah utang berulang-ulang

Benar-benar licik sang Petualang
Tak kenal malu siang dan petang
Bawa kerbau orang dilarang
Pakai selendang orang ditendang.
Heeee…?

Sabtu, 13 Februari 2010

JOKE SERTIFIKASI

Ayam Kentucky
By. Ashari Thamrin


Gilaaaa….
Belum nikah dah minta dada
Dah itu minta paha
Hari ini kau jadi sangsi
Kau minta bukti
Mau sedot kaki
Mau sedot isi
Kalo cinta minta bukti…….
embat tuh ayam kentucky…..

Facebooker

Facebooker Baco : Puaaaasss……
Facebooker Bella : Lepaaaasss…..
Facebooker Baco : Jgn dulu……..
Facebooker Bella : Jorok Lu. Ga brmutu……
Facebooker Baco : Nantang ya?

Sikat Sepatu

Baco : Dinda Aku kangen membelai….
Ecce : Kanda aku juga rindu dibelai…..
Baco : Mau gimana, jarak membatasi…..?
Ecce : Tak ada rotan cobek pun jadi.
Baco : Ya, tak ada dompet sikat sepatupun jadi

BARBAR
Seminggu tak ada kabar
Gula dan garam terasa hambar
Dimanakah dikau terdampar
Hingga lama tak berkomentar

Seminggu tak komentar
Hatiku berdebar-debar
Apa mungkin kau dapat mahar
Walau undangan belum kau antar

BUBUR
Bila umur telah uzur
Pandangan ikut kabur
Gigi satu per satu gugur
Makan pun hanya bubur

Kotoran enggan keluar dubur
Cacing telah menunggu di kubur

BIMBING
Tongkatku berdiri laksana lembing
Melihat rokmu yang lupa kau kancing
Aku pun berpaling ke seekor kucing
Yang pura-pura berbaring
Padahal ngintip bulu keriting.

Senin, 01 Februari 2010

RPP SERTIFIKASI RAYON 46 UNISMUH MAKASSAR

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN



Mata Pelajaran : Bahasa Arab
Sekolah : SMA Negeri 1 Bupon
Kelas : X
Semester : Gazal
Pertemuan : I (Pertama)
Alokasi Waktu : 2x45 menit

Standar Kompetensi : MENDENGARKAN
Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang identitas diri

Kompetensi Dasar :
1.1. Mengidentifikasi bunyi, ujaran (kata, frasa atau kalimat ) dalam suatu konteks dengan mencocokkan dan membedakan secara tepat

Materi Pembelajaran : Identitas Diri
. Ucapan Salam Pertemuan dan Perpisahan

صباح الخير – صباح النور – مساء الخير – مساء النور – ليلة سعيدة

Tujuan Pembelajaran :
•Siswa mampu mengidentifikasi, mencocokkan, dan membedakan bunyi

Indikator Pembelajaran:
•Menirukan ujaran (kata,frasa, kalimat) dengan intonasi yang tepat
•Menyampaikan informasi sederhana sesuai konteks

Strategi Pembelajaran:
•Reading Aloud

Metode Pembelajaran:
•Ceramah dan Demonstrasi

Model Pembelajaran:
•Pemodelan dan Praktek Berpasangan

Langkah Pembelajaran :
Kegiatan Awal : 10 Menit
-Appersepsi dengan memotivasi dan mengarahkan siswa pada situasi pembelajaran
Kegiatan Inti : 75 Menit
oGuru mempersilahkan siswa membuka halaman diktat pegangan mereka masing-masing yang memuat contoh dialog di atas
oGuru melafalkan dialog 2-3 kali dan siswa mendengarkan, kemudian menirukan pelafalan dan intonasi guru
oGuru membagi siswa berpasang-pasangan untuk mendemokan dialog
oGuru memberi waktu selama 10 menit kepada semua pasangan siswa untuk melakukan latihan dialog
oGuru memanggil tiap-tiap pasangan siswa bergantian melakukan dialog di depan kelas
oGuru meminta siswa lain untuk aktif menghitung durasi waktu yang dibutuhkan bagi setiap pasangan siswa yang tampil melakukan dialog
oGuru memberi penilaian untuk tiap-tiap pasangan siswa yang tampil melakukan dialog
Kegiatan akhir : 10 menit
-Guru bersama siswa melakukan refleksi
-Guru memberi site mapping kepada seluruh siswa tentang pelajaran dan kegiatan pembelajaran berikutnya, bahwa pertemuan berikut masih mendemokan dialog hari ini, tapi tidak lagi membawa konsep.
-Absensi, do’a dan Salam.

Penilaian
Jenis Tes (Penilaian) : Tes Unjuk Kerja
Bentuk Instrumen (Penilaian) : Praktek Latihan Menerjemahkanan teks secara Berkelompok
Skoring :
Pedoman Penskoran Identifikasi Kata Skor
Pasangan siswa menuntaskan dialog kurang dari 1 menit 90
Pasangan siswa menuntaskan dialog lebih dari 1 menit dan kurang dari 1,5 menit 80
Pasangan siswa menuntaskan dialog lebih dari 1,5 menit dan kurang dari 2 menit 70
Pasangan siswa menuntaskan dialog tepat 2 menit 65
Pasangan siswa menuntaskan dialog lebih dari 2 menit Remedial

Media Pembelajaran : LKS
Alat Pembelajaran : DIKTAT BAHASA ARAB
Sumber Bahan : BUKU-BUKU YANG RELEVAN




Mengetahui P. Sappa, 12 Juli 2008
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran


Drs. Andi Zainuddin, M.Pd Ashari Thamrin M SS
NIP. 130 283 038 NIP. -
PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS


MENUMBUHKAN KEMAMPUAN MEMBACA HURUF HIJAIYAH MELALUI PENERAPAN METODE IQRA’ PADA SISWA NON MUSLIM KELAS X
SMA NEGERI 1 BUA PONRANG KAB. LUWU


DISUSUN OLEH KELOMPOK 1
KELAS SENI BUDAYA DAN BAHASA

No. No Peserta Nama Peserta Sekolah Asal
1 09191716710239 Ashari Thamrin M, SS SMA N 1 Bua Ponrang
2 09192616010142 Hasim Banja, S.Pd SMA Neg. 1 Enrekang
3 09191621710270 Roswati SMAN 1 Maiwa
4 09191606310245 Nurdin Mustamin SMPS Rahmatul Asri Enrekang
5 09191421710087 Dasriyanti SMPN 1 SUPPA
6 09191421710085 Hj. Asia SMPN 5 Pinrang
7 09191721710164 Supan Paurru SMP N 1 Lamasi

PLPG GELOMBANG V
RAYON 46 UNISMUH MAKASSAR
2009






MENUMBUHKAN KEMAMPUAN MEMBACA HURUF HIJAIYAH MELALUI PENERAPAN METODE IQRA’ PADA SISWA NON MUSLIM KELAS X
SMA NEGERI 1 BUA PONRANG KAB. LUWU


BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Pengamatan pada siswa non muslim di SMA Negeri 1 Bua Ponrang Kab. Luwu sama sekali buta huruf Hijaiyah atau huruf Arab. Hal ini terjadi karena mereka belum pernah mendapatkan pelajaran baca tulis huruf hijaiyah. Dalam pembelajaran selama ini, untuk mengejar ketertinggalan mata pelajaran dari teman-teman sekelas mereka yang muslim, mereka hanya melakukan transliterasi huruf dari huruf Arab menjadi huruf Latin.
Oleh karena itu, untuk meningktakan kemampuan membaca huruf Hijaiyah siswa non muslim Kelas X SMA Negeri 1 Bua Ponrang, kab. Luwu, perlu dilakukan berbagai upaya. Salah satu diantaranya adalah dengan menerapkan metode IQRA’. Melalui metode ini, siswa non muslim diharapkan mampu membaca huruf Hijaiyah sebagaimana mestinya dan tidak lagi melakukan transliterasi huruf.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dengan PenerapanMetode IQRA’ dapat menumbuhkan kemampuan membaca huruf Hijaiyah pada siswa non muslim kelas X SMA Negeri 1 Bua Ponrang, Kab. Luwu.

C.TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menumbuhkan kemampuan membaca huruf Hijaiyah siswa non muslim kelas X SMA Negeri 1 Bua Ponrang, Kab. Luwu.

D.MANFAAT PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
a.menambah motivasi siswa dalam belajar
b.meningkatkan kualitas pembelajaran melalui metode IQRA’





BAB II
KAJIAN TEORI DAN PUSTAKA

A.KAJIAN TEORI
Salah satu komponen dalam pembelajaran yang dapat menimbulkan efektifitas mengajar seorang guru adalah penggunaan metode pembelajaran. Metode IQRA’ adalah salah satu metode pembelajaran huruf Hijaiyah yang terbukti efektif.
Melihat karakteristik metode IQRA’ yang menjadikan guru sebagai model pembelajaran oleh para peserta didiknya, maka dapat dikatakan bahwa metoe IQRA’ itu adalah metode pembelajaran pemodelan sebagai salah satu bagian dari pembelajaran CTL yang dikenal dalam dunia pendidikan.
Pembelajaran kontekstual bertolak belakang dengan pembelajaran tradisional yang selama ini diterapkan. Pembelajaran yang mengubah paradigma teaching and learning. Dalam mengimplementasikan paradigma teaching and learning itu, pembelajaran kontekstual dilakukan melalui 7 pilar CTL (C-STAR 2000), yaitu: inquiry, konstruktivisme, pemodelan, masyarakat belajar, dan refleksi.

B.DAFTAR PUSTAKA
- Diktat PLPG Rayon 46, Unismuh Makassar.



BAB III
METODE PENELITIAN

A.JENIS PENELITIAN
Penelitian ini adalah Penelitian Tindkan Kelas (PTK).

B.SUBJEK PENELITIAN
Penelitian ini dilakukanpada siswa non muslim kelas X SMA Negeri 1 Bua Ponrang Kab. Luwu.

C.FAKTOR YANG DISELIDIKI
Kemampuan membaca huruf Hijaiyah dengan menerapkan Metode IQRA’

D.PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas ini meliputi 2 (dua) Siklus.Tiap siklus dilaksanakan sesuai tujuan yang ingin dicapai seperti apa yang telah didesain dalam factor yang diselidiki. Sebelum siklus dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan observasi untuk mengetahui tindakan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan. Dengan hasil pemantauan awal (observasi) tersebut dilakukan penelitian tindakan dengan prosedur sebagai berikut :
1.Perencanaan
2.Pelaksanaan Tindakan
3.Observasi
4.Refleksi

1.Perencanaan
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaanini adalah sebagai berikut :
Guru merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan membuat rencana pembelajaran, menyusun soal ulangan, dan menyiapkan lembar observasi.

2.Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan scenario pembelajaran yang telah ditentukan.

3.Observasi
Pada tahap ini dilaksanakan proses observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat.

4.Refleksi
Pada akhir siklus diadakan refleksi terhadap hasil yang diperoleh dari catatan guru dan pengamatan kolaborasi.


E.TEKNIK PENGUMPULAN DATA
1.Sumber data : Sumber data penelitian ini adalah siswa non muslim
2.Jenis data : jenis data yang didapatkan adalah data kuantitatif dan kualitatif yang terdiri dari :
a.Hasil Belajar
b.Rencana pembelajaran
c.Data hasil observasi terhadap pembelajaran
3.Cara pengumpulan data
-Data tentang siswa belajar pada saat dilaksanakannya tindakan diambil dengan menggunakan lembaran observasi.
-Data tentang keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan didapat dari RPP dan Lembar Observasi

F.INDIKATOR KEBERHASILAN
Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah bila sebagian besar (80%) siswa non muslim telah mampu membaca huruf hijaiyah.

G.DAFTAR PUSTAKA

Rabu, 30 Desember 2009

“EJAKULASI DINI” SERTIFIKASI GURU (*)

Oleh Ashari Thamrin M, SS
Guru SMAN 1 Bupon

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2009 telah berakhir. Sekitar 2000-an guru lagi untuk Propinsi Sul-sel akan menerima Sertifikat Profesional beserta tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sebuah pertanyaan besar membuntuti: Benarkah para guru yang telah menyetor Portofolio dan mengikuti PLPG itu telah professional?
Terlalu dini mengatakan “YA”. Sedikit banyak, ada beberapa fenomena klasik yang tak terhindarkan saat penentuan seorang guru menjadi profesional atau tidak professional, baik melalui Portofolio maupun PLPG. Dalam proses penyusunan portofolio, manipulasi data tidak terindarkan. Sementara dalam diklat Profesi Guru, faktor welas asih (belas kasihan), nepotisme, dan target penuntasan sejumlah guru yang harus disertifikasi hingga batas tahun tertentu, pun tak dapat dihindari.
Dalam PLPG, sesungguhnya indikator-indikator penilaian untuk mengidentifikasi seorang guru profesional atau tidak, telah cukup. Sayangnya, keterbatasan waktu pelaksanaan PLPG membuat grogi semua pihak, baik panitia, assessor, apalagi peserta PLPG. Bagaimana tidak, Pre-Test dan Presensi atas materi-materi PLPG, seperti materi Jurusan, Pengembangan Profesionalisme Guru, Model-Model Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas serta penugasan-penugasan untuk ke 4 (empat) jenis materi itu hanya digelar 8 (delapan) hari. Begitu pun penilaian teman sejawat, peer teaching (Praktek mengajar) dan terakhir Post Test (Ujian Akhir) untuk ke 4 (empat) jenis materi di atas, dirangkum dalam durasi 8 (delapan) hari tersebut.
Keterbatasan waktu ditambah ketidakbiasaan yang menimbulkan kekurang-nyamanan bagi semua pihak yang terjadi dalam waktu 8 (delapan) hari itulah yang memunculkan fenomena-fenomena kelulusan klasik dalam PLPG. Peer teaching, misalnya, dalam perspektif peserta didik, -dan juga sebagian asesor penilai-, tidaklah dapat dijadikan acuan bahwa seorang guru mampu mengajar atau tidak. Ini karena keterbatasan waktu yang hanya tersedia 30 menit per peserta, serta ketidaklaziman yang menimbulkan kekurangnyamanan berdiri di hadapan teman sejawat yang harus dianggap sebagai peserta didik (murid/siswa).
Bagi guru-guru yang memang bermodalkan tabiat professional, keterbatasan waktu tidak akan pernah mengusik kenyamanan mereka dalam berpraktek. Sebaliknya, guru-guru yang tidak memiliki tabiat professionalisme, kondisi tersebut justru dijadikan momentum untuk mendramatisir permasalahan agar menjadi gamang dan remang-remang. Buntutnya, hasil penilaian pun terjebak pada fenomena-fenomena kelulusan klasik, seperti yang diuraikan di atas.
Satu kesan yang dapat ditarik dari pelaksanaan sertifikasi guru selama ini adalah pelaksanaannya begitu terburu-buru, sehingga mirip dengan orang yang ejakulasi dini dalam senggama.

PENJENJANGAN
Jadi bagaimana seharusnya sertifikasi guru diselenggarakan, agar “Negara” benar-benar menemukan sosok guru professional?
Dalam kurun waktu 2006 hingga 2009, untuk menjadi seorang guru professional, guru telah dituntut menjadi sosok yang sempurna yang tidak boleh tidak, harus memiliki 4 jenis kompetensi yang dijabarkan dalam 10 poin pokok penilaian portofolio. Akibatnya, banyak kalangan guru melakukan manipulasi data dan fakta atas rekam jejak pengabdian mereka, padahal belum tentu mereka telah lakukan.
Guru juga manusia. Dan tak ada manusia yang sempurna. Upaya mendorong guru untuk mendekati tingkat kesempurnaan melalui sertifikasi guru adalah upaya rasional. Namun justru menjadi tidak rasional manakala dilakukan dengan cara tukang sulap: “Sim salabim, Abra kadabra”.
Karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang setiap penyelenggaraan sertifikasi, dan agar identifikasi professionalisme guru tetap berada dalam koridor professional, maka sebaiknya dilakukan pula langkah-langkah professional.
Pertama, seleksi melalui portofolio tetap dipertahankan sebagai seleksi tahap awal, dengan tambahan 1 (satu) syarat: masing-masing peserta melengkapi portofolionya dengan 3 buah rekaman video aktivitas mengajar/melatih/membimbing yang masing-masing berdurasi 2 jam Mata Pelajaran.
Kedua, professionalisme guru sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Mungkin sampai 3 (tiga) hingga 4 (empat) jenjang atau tingkatan, sehingga nantinya akan ada Professional tingkat I, Professional Tingkat II, Professional tingkat III, dan Professionalisme tingkat IV. Professional tingkat I dapat meliputi kompetensi Akademik (Kepribadian) dan Paedagogik. Professional Tingkat II ditambah lagi satu kompetensi, misalnya kompetensi Sosial. Professional tingkat III benar-benar telah memiliki 4 macam kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yakni Akademik, Paedagogik, Sosial dan Professional.
Tunjangan sertifikasi pun baiknya disesuaikan dengan tingkat professionalisme seorang guru. Professional tingkat pertama diberi setengah, atau 0,5 kali gaji pokok. Professional tingkat II diberi 1 kali gaji pokok, professional tingkat III diberi 2 kali gaji pokok, dan professional tingkat IV diberi 3 kali gaji pokok
Kendati tafsir Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) oleh beberapa ahli menggariskan bahwa ke 4 (empat) jenis kompetensi yang harus dimiliki setiap guru itu utuh dan tidak berlaku partial, namun jika kembali pada perspektif di atas bahwa guru juga manusia dan tak ada manusia yang sempurna, maka kesempurnaan seorang guru adalah suatu kemustahilan. Namun upaya untuk melahirkan dan/atau membentuk guru-guru professional yang mendekati kesempurnaan sesuai yang digariskan UUGD, adalah suatu keniscayaan manakala dilakukakan secara berjenjang, dan tidak dengan cara tukang sulap.

BASIS KINERJA
Sebenarnya, ada cara pintas (shortcut) untuk mengidentifikasi professionalisme seorang guru, yakni dengan penilaian berbasis kinerja. Seorang guru yang mengajar 100 orang peserta didik, dapat dikategorikan professional jika mampu meluluskan 51 orang peserta didiknya dalam Ujian Nasional. Istilah kerennya 50 plus 1. (Opini Tribun: Selasa, 19-02-2008, Sertifikasi Guru yang Rancu). Hanya saja, cara ini akan terasa sangat berat oleh semua pihak, baik pemerintah, Panitia sertifikasi, apalagi peserta sertifikasi.
Namun, untuk mengidentifikasi guru Professional tingkat III, atau juga untuk keperluan penjenjangan Professionalisme guru tingkat IV, cara pintas ini boleh-boleh saja diterapkan. Asal, pengawasan dalam UN untuk peserta didik si guru yang menjadi peserta sertifikasi, benar benar dilakukan ekstra ketat tanpa tekanan psikologi.

REKRUITMEN
Satu hal lagi yang paling krusial yang selama ini terabaikan, padahal seharusnya menjadi bab pendahuluan dalam melahirkan dan mengidentifikasi guru professional, yakni rekruitmen tenaga guru. Rekrutmen tenaga guru melalui jalur database sungguh banyak melanggar azas professionalisme. Sarjana Sastra mengajar Akuntansi, Sarjana Pertanian mengajar Fisika, dan sebagainya. Di mana relevansinya? Bagusnya, rekrutmen melalui jalur database ini diwacanakan akan ditamatkan di tahun 2009. Jadi yang lalu biarlah berlalu.
Satu jalur lagi, yakni melalui jalur umum, patut ditinjau ulang. Kenapa? Masih banyak daerah di Indonesia melakukan sistem perekrutan dengan mengandalkan kemampuan menjawab 100 buah soal Tes Kompetensi Dasar/Umum (TKD/U). Padahal muatan soal-soal TKD/U tidak layak dijadikan satu-satunya tolok ukur atas kemampuan seorang guru. Sarjana Sastra yang tak pernah lagi mengeyam Mata Kuliah Matematika masih juga diberi tes matematika. Mana bisa menjawab?
Saya berani mengatakan bahwa kalau Tes TKD/U dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk rekrutmen tanaga guru, maka lulusan SMA/SMK yang otaknya masih segar menjawab soal-soal sejenis itu, lebih layak menjadi guru ketimbang sarjana. Para lulusan SMA/SMK bila dilatih secara intensif menjawab soal-soal TKD/U, mereka mampu meraih skor 100%.
Jadi bagaimana sebaiknya sistem rekrutmen guru professional? Pertama, Jalur database boleh dibuka kembali, tapi diprioritaskan untuk guru-guru honor (GTT) yang telah lulus Penjenjangan Professional tingkat Pertama sesuai syarat diatas, yakni menyusun Portofolio (lengkap dengan 3 buah rekaman aktivitas) dan lulus dalam PLPG. Kedua, melalui jalur umum dengan tambahan tes wawancara, Tes Kompetensi Bidang (TKB) dan Praktek mengajar.
Bila cara-cara pengidentifikasian guru-guru professional, -mulai dari perekrutan dan penjenjangan-, dilakukan sesuai tawaran di atas, insya Allah, Negara tidak akan mubazzir mengeluarkan APBN trilyunan Rupiah setiap tahunnya untuk membiayai sektor pendidikan. Sebaliknya, jika masih dilakukan dengan cara-cara klasik seperti yang dulu-dulu, niscaya sektor pendidikan kita akan tetap jalan di tempat, bahkan mungkin mengalami langkah mundur. Ingatlah, hanya satu pihak yang merasa puas dalam ejakulasi dini. Siapa itu? Anda sudah tahu jawabannya!

(*) Naskah asli tanpa editing koran (opini ini dimuat d tribun timur 29 Des 2009